Rokok, Luka Tersembunyi di Paru-Paru Bangsa
4 jam lalu
Pasien berusia 45 tahun di rumah sakit paru, berkata sambil menahan batuk, “Saya tahu rokok berbahaya, tapi saya sudah tidak bisa berhenti".
***
Wacana ini ditulis oleh Putri Widia Rahmadani Rambe, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Dalam sebuah percakapan dengan seorang pasien berusia 45 tahun di ruang tunggu rumah sakit paru, ia berkata lirih sambil menahan batuk yang panjang, “Saya tahu rokok berbahaya, tapi saya sudah tidak bisa berhenti. Rasanya seperti tubuh ini selalu menagih.” Ungkapan sederhana ini mencerminkan betapa dalamnya jeratan adiksi nikotin yang dialami oleh jutaan orang di Indonesia. Merokok bukan sekadar kebiasaan sosial, melainkan fenomena kesehatan masyarakat yang telah menjerat tubuh dan ekonomi bangsa.
Sampai hari ini, Indonesia masih menghadapi kenyataan pahit sebagai salah satu negara dengan angka perokok tertinggi di dunia. Meskipun peringatan bahaya rokok sudah jelas tercetak di bungkus, prevalensi perokok justru meningkat, terutama di kalangan usia muda. Paru-paru, organ vital yang dirancang untuk menerima udara bersih, menjadi korban utama paparan asap rokok yang berulang. Tidak berlebihan jika Indonesia sering disebut sebagai “negara darurat rokok” karena tingginya prevalensi perokok, termasuk anak-anak dan remaja yang semestinya masih berada dalam fase tumbuh kembang.
Rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia berbahaya, dengan beberapa di antaranya memiliki dampak langsung terhadap kesehatan paru. Nikotin menjadikan tubuh kecanduan dengan memengaruhi sistem dopamin, memberikan ketenangan semu yang hanya bertahan sesaat. Tar melekat di dinding paru-paru hingga menghitamkan jaringan, sementara karbon monoksida berebut tempat dengan oksigen pada hemoglobin, sehingga tubuh kekurangan pasokan oksigen. Arsenik yang bersifat karsinogenik dapat merusak DNA dan memicu kanker paru, sedangkan formaldehida, bahan pengawet yang bersifat iritan, mampu mengakibatkan peradangan kronis pada saluran pernapasan. Peradangan inilah yang dalam banyak penelitian disebut sebagai pintu masuk perubahan sel sehat menjadi sel ganas (American Cancer Society, 2021).
Dampak jangka panjang dari paparan zat beracun ini tampak dalam berbagai penyakit serius. Bronkitis kronis, emfisema, kanker paru, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menjadi kondisi yang paling sering ditemukan. Bronkitis kronis membuat penderita terus batuk dengan produksi dahak berlebihan, sedangkan emfisema merusak alveoli hingga mengurangi elastisitas paru-paru. Kondisi ini tidak dapat disembuhkan sepenuhnya, hanya bisa dikendalikan, sehingga kualitas hidup penderitanya menurun tajam.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa merokok merupakan penyebab utama kanker paru, dengan sekitar 85 persen kasus berkaitan langsung dengan kebiasaan ini. American Lung Association juga menegaskan bahwa 90 persen kematian akibat kanker paru disebabkan oleh rokok. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2022 menunjukkan jumlah perokok mencapai lebih dari 65 juta orang, sebuah angka yang menempatkan Indonesia di jajaran negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia (Kemenkes RI, 2022). Fakta ini sejalan dengan meningkatnya kasus penyakit tidak menular, terutama kanker paru dan penyakit jantung.
Konsekuensi ekonomi pun tidak kalah mengerikan. Pengobatan kanker paru di rumah sakit besar dapat menelan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah, terutama bagi pasien yang membutuhkan kemoterapi serta rawat inap jangka panjang. WHO menegaskan bahwa beban biaya kesehatan akibat rokok jauh lebih tinggi dibandingkan keuntungan ekonomi dari industri tembakau (WHO, 2020). Hal ini memperlihatkan bahwa rokok bukan hanya ancaman kesehatan, tetapi juga beban ekonomi yang menghantam keluarga menengah ke bawah hingga menekan anggaran negara.
Yang lebih menyedihkan, bahaya rokok juga menghantui perokok pasif. Anak-anak, lansia, dan ibu hamil yang terpapar asap rokok tetap berisiko tinggi menderita gangguan pernapasan, asma, bahkan melahirkan bayi dengan berat badan rendah. Penelitian UNICEF (2019) menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal bersama perokok lebih rentan mengalami infeksi saluran pernapasan berulang dan keterlambatan tumbuh kembang. Fakta ini menegaskan bahwa merokok bukanlah masalah individu, melainkan krisis kesehatan bersama yang merusak masa depan generasi.
Program Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang telah diinisiasi di berbagai daerah sebenarnya memberi harapan. Namun, lemahnya pengawasan dan rendahnya kepatuhan menjadikannya simbolis semata. Dibutuhkan sinergi serius antara pemerintah, tenaga kesehatan, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk benar-benar menegakkan aturan ini. Kesadaran publik harus dibangun bahwa berhenti merokok bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial.
Pada akhirnya, menjaga kesehatan paru-paru berarti menjaga keberlangsungan hidup. Penelitian medis menunjukkan bahwa berhenti merokok selama satu tahun dapat menurunkan risiko penyakit jantung secara signifikan, dan setelah sepuluh tahun berhenti, risiko kanker paru berkurang hampir setengah dibandingkan dengan perokok aktif (CDC, 2021). Fakta ini menunjukkan bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk berhenti. Setiap langkah menuju hidup tanpa rokok adalah investasi panjang bagi tubuh, keluarga, dan bangsa.
Dalam dialektika antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial, merokok tidak dapat lagi dianggap sebagai pilihan netral. Ia adalah masalah kolektif yang menuntut perubahan kesadaran. Berhenti merokok adalah bentuk keberanian, bukan sekadar pengorbanan, dan bangsa ini membutuhkan keberanian itu agar paru-paru masyarakatnya tidak terus menjadi ladang racun yang diam-diam mematikan.
Corresponding Author: Putri Widia Rahmadani Rambe, Email: [email protected]

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Krisis Limbah dan Ancaman Kesehatan Publik
4 jam lalu
Rokok, Luka Tersembunyi di Paru-Paru Bangsa
4 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler